Senin, 16 Juni 2008

Kader PMII Kota Malang


wa asa an tukhrahu syai'a wahuwa khairun lakum, wa asa an tuhibbu syai'a wahuwa syarrun lakum, Wallahu ya'lamu wa antum laa ta'lamuun

AKSI PMII KOTA MALANG



Aksi sahabat-sahabat PMII di depan gedung DPRD menolak kenaikan BBM.

doc.wakidi

Kamis, 05 Juni 2008

TORIQOH AL-PMII-YAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH:

GOLONGAN YANG SELAMAT
(al Firqah an-Najiyah)
Oleh: C. Azhar

“…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di ntaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)

Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang mereka lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal, mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagai peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeda dengan para filosof yang berbicara tentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penalaran akal semata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran yang dibawa para nabi.
Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah tuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut).
Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentang Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistematikanya. Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas.
Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:
“Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”.
(H.R. al Bukhari dan Muslim)

Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya :
“Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian -- mengikuti-- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”.
(H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalu menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama'ah masjid tertentu atau dengan arti ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri dan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat Muhammad dari sisi kuantitas. Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits yang kita tulis di awal pembahasan. Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian akan kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit. Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi:

“Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka”. (H.R. Tirmidzi)

Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –emoga Allah meridlai keduanya– datang dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al- Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.
Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj?. Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa asulullah r tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas mengatakan bahwa Rasulullah r melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad sehingga dapat melihat Allah. Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan:

“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)

Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. qidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia. Dan al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di negara-negara lainnya. Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas.
Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmuilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan sahabat Jundub:

“Kami -selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al- Bushiri).

Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal tersebut dikarenakan banyaknya golongan yang mengatas namakan Islam justru menentang aqidah Islam yang benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi) dari setiap golongan untuk membela aqidah mereka yang sesat. Tidak semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan tetapi ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu kalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam karena sengaja dikarang dan ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti Mu’tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat. Dikatakan terpuji karena pada hakekatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah taqrir dan penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli.
Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Di antaranya, sahabat 'Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kuat dapat mengalahkan golongan Khawarij, Mu’tazilah juga dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Demikian pula sahabat 'Abdullah ibn Abbas, al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib dan 'Abdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari kalangan tabi’in; imam al-Hasan al- Bashri, imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi
Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah.
Kemudian juga para imam dari empat madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini. Sebagaimana dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam kitabTabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al- Masami’ dan al 'Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan lain-lain. Allah berfirman:

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu". (Q.S. Muhammad :19)

Ayat ini dengan sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid. Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada perintah untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama. Ketika Rasulullah ditanya tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau menjawab:

Maknanya: “Iman kepada Allah dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)
Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah r mengkhususkan dirinya sebagai orang yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau bersabda:

“Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut kepada-Nya”. (H.R. Bukhari)

Karena itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini. Seperti Risalah al-'Aqidah ath-Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al- Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash- Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H). Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal dengan nama al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan
itu terus berlangsung.
Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa aqidah Ahlussunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasul Allah. Amin.

Senin, 02 Juni 2008

MENCARI TAHU PELOPOR KEBANGKITAN BANGSA


Oleh Fairouz Huda

(Ketua II PMII Kota Malang Periode 2007-2008)

Banyak komponen pergerakan yang hari ini tengah bersemangat untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS). Peringatan kali ini dianggap sebagai momentum pergerakan yang sangat special dibandingkan dengan peringatan HARKITNAS sebelumnya. Karena tepat pada tanggal 20 Mei 2008 sejarah pergerakan kebangkitan nasional diyakini telah berumur 100 tahun.


Se-abad kebangkitan nasional yang banyak menumbuhkan semangat gerakan, pastinya juga meyakini bahwa Boedhi Oetomo (BO) sebagai tonggak pergerakannya. Namun catatan sejarah yang terdapat dalam teks-teks sejarah pergerakan kita saat ini tidak lantas dijadikan sebagai rujukan sejarah yang dogmatis tanpa ada kritik sejarah. Karena ada bukti sejarah pergerakan yang berkata lain atas kebangkitan nasional tersebut.


Pantaskah tanggal 20 mei 1908 dijadikan sebagai momentum kebangkitan nasional? Seandainya kita sedikit ada usaha untuk melacak sejarah gerakan, maka tentu akan terlontar pertanyaan seperti itu. Karena sebenarnya BO adalah organisasi dibawah kendali pemerintah belanda. Angota-angotanya pun kebanyakan menjadi pegawai belanda.


Bukan itu saja, dibelakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.


Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.


BO Tidak Bervisi Kebangsaan

BO adalah organisasi yang tidak sama sekali memiliki visi kebangsaan, melainkan Visi kedaerahan dibawah kepentingan belanda. Karena sangat jelas sekali di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ” Inilah tujuan BO, yang bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.


Dalam setiap pembahasan rapat-rapatnya, mereka tidak pernah berbicara bagaimana membangun gerakan kebangsaan. akan tetapi pembahasannya lebih pada menggalang kekuatan untuk membangun tanah madura dan jawa menjadi tanah yang bekesejahteraan dibawah kendali ratu belanda.


Selain itu, BO juga memposisikan Islam sebagai penghalang dari gerak langkah yang dilakukan. Sehingga mereka sangat berkeinginan untuk menyingkirkan Islam sebagai upaya meluruskan dan melancarkan gerakan mereka.


Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ”


Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.


Selain tujuan organisasi yang sangat chauvinistik, ternyata bahasa yang digunakan dalam aturan dan komunikasi organisasinya tidak memakai bahasa melayu. Namun bahasa yang digunakan mereka adalah bahasa belanda.


Dari beberapa fakta sejarah diatsa sudah jelas bahwa ada pembusukan sejarah di negeri kita ini. Kepentingan kelompok penjajah, bersembunyi dibalik teks-teks sejarah yang selama ini tersosialisasikan terhadap masyarakat. Sebenarnya, banyak teks sejarah yang hendak mengungkap fakta sejarah yang sesungguhnya. Baik berupa artikel maupun buku-buku sejarah pergerakan.



KH Firdaus AN adalah Tokoh dan Penulis Islam yang sepanjang hayat secara lantang menyerukan perlunya pembaharuan atas tradisi peringatan kebangkitan nasional, kritiknya melalui tulisan tersebar di berbagai media juga melalui buku – buku yang beliau tulis utamanya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”, sayangnya buku tersebut sekarang sudah langka dan sudah tentu sangat terpuji jika diantara kita yang “memilikinya” bersedia berbagi dan mempublikasikan buku tersebut secara terbuka melalui blog atau website sebagai ataupun media tulisan yang lain sebagai bagian dari upaya pelurusan sejarah pergerakan bangsa.


Berkenaan dengan tulisan KH. Firdaus AN, ternyata tonggak penggerak kebangkitan bangsa bukan BO, akan tetapi aktivis-aktivis pergerakan yang memiliki semangat kebangsaan seperti halnya Syarikat Islam (SI) yang berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 (tiga tahun sebelum lahirnya BO). Maka dari itu, setelah kita lacak fakta-fakta sejarah, dan memahami adanya titik manipulasi teks sejarah, tentu kita sepakat bahwa motor penggerak kebangkitan nasional yang sesungguhnya adalah SI.


Seperti kita ketahui bersama bahwa SI tidak sebatas pergerakan Islam melainkan pergerakan nasional yang terbuka terbukti SI mewadahi berbagai latar belakang ideologi termasuk bergabungnya beberapa anggota yang ber-ideologi radikal seperti Semaun, Darsono dan Alimin yang kemudian dikenal sebagai SI Merah. Sebagai Bapak Pergerakan Nasional Rumah HOS Tjokroaminoto di Gang Peneleh 7 Surabaya menjadi tempat indekost bagi tokoh – tokoh pergerakan, disanalah tempat diskusi politik dan kebangsaan lintas ideologi.


3 orang tokoh pergerakan yang berguru dan indekost di rumah HOS Tjokroamnito adalah Ir. Soekarno, Kartosuwiryo dan Semaun. Ketiganya dikenal lantaran banyak memberikan warna bagi perjalanan pergerakan nasional, Bung Karno kemudian hijrah ke Bandung dan mendirikan partai nasional yang menjadi cikal bakal lahirnya PNI, Semaun dan kawan – kawannya kemudian mendirikan Partai Komunis Hindia Belanda pada tahun 1920 dan tidak lama berselang berubah menjadi Partai Komunis Indonesia yang diketuai oleh Semaun, sementara Kartosuwiryo kemudian dikenal sebagai Tokoh Islam yang berpengaruh luas dan sempat memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.


Dari realitas diatas, mari kita sambungkan energi gerakan kita pada pioner gerakan yang sesungguhnya. Jangan sampai sejarah dapat menjebak kita lagi. Karena ketika itu terjadi berulang-ulang kali, maka kita akan semakin berada dibawah panji kepentingan penjajah. Tunjukkan bahwa kita punya harga diri, yang merupakan kumpulan dari semua komitmen kebangsaan. Dari dulu kita mencita-citakan bangsa yang bebas dari kepentingan negara lain. Bangkitlah wahai pemuda, bangkitlah wahai kaum miskin kota dan bangkitlah wahai kesatria pergerakan. Kita sudah terlalu lama disakiti, sudah saatnya kita membalas kepedihan ini dengan kebangkitan yang sejati nan mandiri.




Ahmadiyah di Indonesia

DISKRIMINASI AHMADIYAH DI INDONESIA*

Oleh: Levi Riyansah**


Sebenarnya, ajaran di Ahmadiyah dibandingkan dengan ajaran islam tidak ada perbedaan yang mendasar. Dalam hal ubudiyah, syariah, dan sumber ajaran agama tidak ada perbedaan hanya saja ada perbedaan yang sebenarnya masih bisa dimaklumi, tapi perbedaan yang sangat krusiil itu ada pada wilayah kenabian. Selain di wilayah kenabian, juga ada perbedaan dalam menafsirkan Khilafah, mendefinisikan Almasih di akhir zaman, perbedaan pemaknaan hari akhir, dan konsep Jihad.

Dalam masalah kenabian, kita mengenal dua aliran besar di Ahmadiyah yang kemudian dalam pemaknaan itu yang memunculkan kontroversi tentang keberadaan nabi. Yang dipermasalahkan umat islam yang lainnya adalah kebeiradaan pendiri ajaran Ahmadiyah yaitu Mirza Ghulaim Ahmad yang diposisikan oleh kalangan Ahmadiyah sebagai nabi. Ini kalau tidak dipahami secara utuh bagaimana pendefinisian Mirza Ghulaim Ahmad sebagai nabi bagi kalangan Ahmadiyah ini yang kemudian menimbulkan aksi yang sangat keras dari umat islam di luar Ahmadiyah. Aksi yang keras ini mengarahkan pengkafiran pada Ahmadiyah karena landasan dasar islam itu adalah di taukhid, dan taukhid itu terletak pada syahadat yaitu penyaksian Allah sebagai tuhan dan Muhammad sebagai Rasulullah.

Ketika ada kelompok islam yang memunculkan nabi besar baru sebagai pengganti Muhammad jelas akan dianggap kafir. Sebenarnya, kalau kita tidak bisa membaca atau tidak bisa melakukan dialog dengan Ahmadiyah atau membaca literatur tenang Ahmadiyah itu akan menimbulkan salah persepsi, karena mereka memiliki definisi yang kaya tentang nabi. Tafsirnya mereka tentang nabi itu tidak seperti tafsir yang umum tidak seperti tafsir kaum muslimin yang Sunni ataupun Syi’ah, sangat berbeda sekali, di sinilah titik krusialnya sebenarnya.

Ahmadiyah yang kita kenal ada dua aliran yaitu Qadian dan Lahore, Lahore mendefinisikan nabi ada dua yaitu nabi yang Hakiki dan Lughowi. Nabi dalam konteks hakiki adalah nabi yang kita kenal dalam sejarah islam yang terakhir adalah nabi Muhammad. Sedangkan nabi dalam konteks Lughowi adalah nabi yang ada dalam satu ayat Al-Qur’an mengatakan bahwa dalam seratus tahun akan selalu muncul tokoh bisa dianggap nabi, ayat inilah yang dijadikan sebagai rujukan bahwa nabi itu terus berlanjut. Muhammad menjadi Khatamul anbiya’ wal mursaliin yaitu penutup nabi dan rasul dalam konteks agama hakiki atau nabi Hakiki tapi tidak sebagai nabi Lughowi. Kalau kita bisa memahami ini maka tidak ada yang bermasalah dalam tauhid mereka, sama saja sebenarnya.

Lebih jelas lagi kalau kita melihat pandangan Ahmadiyah Qadian, mereka lebih spesifik mendefinisikan nabi dalam tiga kategori. Kategori yang terakhir yang dinisbatkan kepada Mirza Ghulaim Ahmad adalah nabi yang tidak menyebarkan agama baru tapi dia memperkuat agama sebelumnya, memperkuat Muhammad, artinya seperti ulama saja sebenarnya atau tokoh ulama yang memiliki kelebihan yang dilebihkan oleh Tuhan sehingga dia diposisikan sebagai penerus perjuangan nabi dengan segala keilmuan dan kewenangannya untuk melakukan perubahan atau pembaruan terhadap islam. Dalam konteks ini pun sebenarnya tidak ada masalah.

Yang menjadi masalah ketika memang pertama adalah, kurang mendalam tentang pemahaman Ahmadiyah, yang kedua tentang tradisi keberagamaan kita yang tidak toleran dengan perbedaan penafsiran yang kaya jadi perbedaan tafsir itu tidak menjadi tradisi yang dikayakan. Dalam sejarah islam kita juga mengenal, dalam kekhilafahan yang diadopsi adalah ulama-ulama Mu’tazilah maka ulama-ulama Sunni dihancurkan, mereka menjadi musuh kekuasaan, demikian juga sebaliknya ketika Sunni dekat dengan kekuasaan maka kelompok yang berbeda dengan Sunni akan dimusuhi. Nah, konteksnya selain masalah ketidakfahaman ajaran yang berbeda dan ketidakterbukaan untuk mendialogkan perbedaan, juga masalah politik.

Aliran Ahmadiyah yang paling dianggap kafir adalah Lahore yang memposisikan Mirza Ghulaim Ahmad sebagai nabi dalam definisi yang hampir mirip dengan nabi yang sebenarnya, meski pemaknaan mereka adalah nabi Lughowi yaitu nabi yang tidak membawa syari’at baru. Sedangkan yang banyak di Indonesia ini kan yang Qadian, yang mendefinisikan nabi tidak seperti Lahore itu, melainkan nabi sebagai tokoh pembaruan islam yang tidak membuat syari’at baru hanya melanjutkan syari’at sebelumnya. Sebenarnya untuk esensi mereka tidak perlu menggunakan istilah nabi, cukup wali atau ualama. Jadi bagi Qadian, Mirza Ghulaim Ahmad itu sebagai wali saja tapi karena diksi yang digunakan menjadi demikian bermasalah maka memancing permasalahan yang lain.

Dalam sejarahnya, keberbedaan tafsir di Indonesia memang selalu memunculkan gesekan, kecurigaan, sehingga memunculkan sedikit masalah di Indonesia. Dalam sejarahnya, antar agama saja sering ada konflik artinya konflik antara umat Islam dengan Kristen itu sudah berlangsung sejak lama, tidak karena pasca reformasi karena pandangan Islam dan Kristen ada kaitannya dengan kolonial. Belanda sebagai bangsa Eropa datang memiliki tujuan Gold Glory Gospel, perlawanan-perlawanan islam waktu itu adalah perlawanan terhadap kafir. Imbasnya adalah ketika misionaris Kristen di Indonesia kemudian mendapat hak-hak khusus dari pemerintah Hindia Belanda sehingga mereka dianggap ancaman bagi kaum muslimin. Ketika sudah merdeka, pertemuan Islam-Kristen ini masih berpotensi menimbulkan konflik ketika tidak dihadirkan regulasi yang baik dari negara, makanya kemudian muncul forum antar umat beragama dan sebagainya.

Dalam konteks aliran sesat atau dalam konteks aliran kepercayaan di Indnesia, negara membuat lembaga yang namanya PAKEM (Pengawas Aliran kepercayaan Masyarakat) yang ini ditangani oleh Kejaksaan Agung dengan tujuan untuk mengawasi dan mendata aliran-aliran apa saja di Indonesia yang tergolong sesat. Pada tahun 1980-an Ahmadiyah ini sebenarnya sudah masuk dalam daftar aliran sesat, aliran yang dilawan di Indonesia. Hanya saja pada waktu itu PAKEM adalah tim Kejaksaan yang dalam mendifinisikan aliran sesat merujuk pada MUI. MUI ini kemudian menjadi sumber legitimasi terhadap aliran apa saja yang sesat, yang waktu itu adalah Ahmadiyah dianggap sesat oleh Kejaksaan. MUI pada era 1980-an memang sedang tidak harmonis dengan negara, dengan pemerintah tidak sedekat sekarang.

Ternyata keputusan Kejaksaan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang dilarang di Indonesia itu tidak sama dengan sikap Departemen Agama waktu itu. Departemen Agama tidak menganggap Ahmadiyah sesat, Depag hanya melakukan pendekatan terhadap Ahmadiyah agar Ahmadiyah menyebarkan ajarannya secara terbatas tidak misionaris minded. Belakangan, karena ada dua perbedaan sikap terhadap Ahmadiyah di dua instansi negara Kejaksaan dengan Departemen Agama, maka PAKEM kemudian lintas sektoral. PAKEM tidak hanya di Kejaksaan tapi harus bergabung di Depag, Diknas, Pengadilan, Kepolisian, dan lembaga-lembaga lain.

Dalam konteks tata negara hari ini, sebenarnya tidak perlu ada SKB (Surat Keputusan Bersama) yang menempatkan Ahmadiyah sebagai seta berdasarkan tiga Deparemen itu tidak perlu, karena keberadaan PAKEM ini sudah lintas sektoral. Keberadaan PAKEM sebenarnya sudah ada embrionya sejak Orde Lama tepatnya tahun 1951 namun, keberadaannya ditetapkan pada tahun 1965 yang memberikan tugas dan kewenangan kepada Kejaksaan Agung, salah satu kewenangan itu adalah pengawasan terhadap aliran kepercayaan di masyarakat. Mengenai hal ini kajian historisnya akan panjang karena berkeitan dengan kebutuhan negara untuk mendisiplinkan gerakan-gerakan di masyarakat. Aliran sesat cenderung ketundukannya hanya pada pimpinan alirannya, hal ini rentan adanya perlawanan-perlawanan terhadap negara. seperti kasusnya Syaikh Siti Jenar, bagaimana pegikutnya tidak tunduk kepada Demak tapi lebih tunduk kepada Syaikh Siti Jenar. Konteksnya lebih mirip dengan ini, sehingga pengikut aliran sesat tidak tunduk dengan kebijakan negara.

Untuk mendefinisikan sesat, negara harus melibatkan lembaga-lembaga keagamaan yang dibentuk oleh negara, karena definisi sesat itu sebenarnya absurd artinya bermasalah dalam konteks pemkanaannya. Sesat menurut siapa? Itu pertanyaan yang harus dijawab sebenarnya sekaligus pertanyaan yang tidak penting untuk dijawab oleh negara karena mereka hanya butuh tindakan yang mengarah pada pembenaran tindakan negara.

Bangkitnya kembali fundamentalisme agama pasca reformasi itu juga menambah permasalahan agama yang semakin kompleks. Tidak hanya persolan eksistensi agama yang merebut kekuasaan agama di lingkaran negara tapi juga problem-problem lain yang berhubungan dengan peta global ketika hari ini banyak sekali gerakan-gerakan impor dari Timur Tengah itu yang sebenarnya di sanalah perlawanan terhadap kekuatan Barat. Tapi karena perlawanannya ada di Indonesia, gerakan perlawanan ini menjadi sangat ngawur, mereka melawan terhdap perbedaan, bid’ah, dan lain sebagainya. Dan saya tidak menemukan adanya kepentingan pragmatis politis dari gerakan fundamentalisme Islam seperti Hizbut Tahrir maupun Salafi untuk merebut kekuasaan negara, mereka hanya anti terhadap aliran sesat, anti bid’ah, didasari oleh daerah lahirnya, dalam hal ini konteks Afghanistan, kemudian Jamaah Islamiah itu merupakan kepanjangan tangan dari Ideologi Taliban. Ideologi Taliban memang sangat keras, tapi ketika berada di Indonesia menjadi tidak kontekstual sehingga mereka melakukan gerakan dengan semena-mena terhadap aliran yang dianggap sesat.

Kalau ini dianggap berkaitan dengan perebutan akses kekuasaan mungkin iya tapi tidak hanya itu. Ahmadiyah ini tidak menjadi ancaman terhadap dominasi Departemen Agama, kalau dalam pengamatan saya, Ahmadiyah selama ini tidak memiliki orientasi terhadap penguasaan Departemen Agama ataupun menjadi Ormas yang besar dan menguasai Indonesia. Menurut saya, Ahmadiyah hanya ingin mengembangkan jama’ah dan ingin menyebarkan ajaran yang mereka yakini sebagai kebenaran. Memang tradisi keberagamaan di negara kita meskipun sudah sangat lama tapi harus diakui belum dewasa dalam menyikapi perbedaan.

Namun, ada permasalahan yang memicu reaksi keras terhadap Ahmadiyah itu ada dari pihak Ahmadiyah sendiri yang dianggap ekskhlusif terhadap masayakat di lingkungan tempat tinggalnya. Seperti Syi’ah di Bangil, demikian juga Syafa’atus Shalawat di Jabung, Wisman Roy malah tidak hanya eksklusif tapi juga provokatif, aliran-aliran ini eksklusif dalam hal bermasyarakat sebagai ekspresi keberagamaannya. Seyogyanya, keberagamaan itu jangan provokatif lah, keberbedaan beragama itu pasti ada tapi ketika keberbedaan itu kemudian diungkit-ungkit dalam hal aspek-aspek yang sensitifnya pasti akan marah. Ketika minoritas agama ini tidak provokatif, mereka bisa membangun komunikasi yang baik, tentunya minoritas-minoritas tidak akan menerima kemarahan yang sebesar itu. Meskipun ini bukan satu-satunya problem, tetap ada problem di wilayah makro, di wilayah kekuasaan, di wilayah dominasi tokoh-tokoh agama, dan sebagainya.

Khususnya Ahmadiyah yang memicu kemarahan adalah sikap eksklusifnya itu, mereka tidak provokatif. Tapi selain eksklusif, juga karena factor kesejarahan yang cukup panjang. Wacana Ahmadiyah menjadi wacana yang sejak lama lebih-lebih ajaran yang dipermasalahkan yaitu masalah yang sangat sensitif yatu kenabian. Makanya itu tidak hanya menjadi masalah sosial tapi juga masalah political will dari pemerintah, dan political will dari tokoh-tokoh agama. Seperti contohnya Jalaluddin Rahmat, di jelas-jelas Syi’ah tapi dia tidak menampilkan diri sebagai sosok yang kontroversi, dalam menyebarkan pemikirannya dia lebih menyentuh pada aspek-aspek Tasawwuf.

Kecenderungan keberagamaan adalah Patronase, sehingga perlu kesadaran tokoh-tokoh agama untuk memberikan pendidikan penyadaran menerima keberagaman beragama. Saya yakin kalau tidak ada sau pun tokoh agama yang mendukung terhadap pelarangan ajaran Ahmadiyah, tentu tidak ada reaksi keras dari masyarakat terhadap Ahmadiyah, tapi beberapa tokoh agama masih menganggap Ahmadiyah harus ditutup. Dalam penyelesaian pertentangan yang paling baik adalah menjalin komunikasi, dan berdialog tentang ajaran aliran agama tertentu.


* Hasil wawancara penyusun dengan Levi Ryansah.

** Direktur Pusat Pengembangan Kajian dan Budaya (Puspek) Averroes Community Malang.

Sosok Sang Komandan

Celotehan Seorang…..


Aku terlahir dengan nama FERRY FIRMANSYAH, di atas kasur yang empuk di sebuah rumah sakit kecil untuk kaum menengah ke bawah di Bangil Pasuruan pada tanggal 26 juli 1982. Di rumah sakit itulah aku pertama kali menangis, karena harus terlahir di dunia baru yang penuh dengan kemunafikan. Aku yang sejak kecil mendapatkan pengawasan yang cukup ketat dari keluarga membuat karakter ‘pemberontak’ muncul dalam ruh dan jiwaku.


Pemberontakan’ itu membuat aku harus berpindah dari Bangil ke sebuah desa yang lagi tumbuh menjadi desa industri, sebuah proses industrialisasi yang sedang menggerus tradisi-tradisi pedesaan yang merupakan karakter dari bangsa ini. Desa itu bernama NOGOSARI kecamatan PANDAAN, tepatnya jalan Urip Sumoharjo Gang III No. 37.


Sekolah Dasar yang kulalui di SDN 2 Pandaan berjalan dengan datar, tanpa irama yang cukup menarik untuk didengarkan, begitupun ketika aku melalui masa-masa SMP di sebuah Sekolah yang merupakan sekolah favorit di Pandaan, yaitu di SMPN 1 Pandaan. Pergumulan kehidupannku mendapatkan irama yang cukup menarik ketika aku menginjak SMA. Di sebuah sekolah yang melahirkan ‘orang-orang nakal’ bernama ELPAMAS yang menelurkan sebuah karya berjudul Rumah Sangat Sederhana Sekali dan juga seseorang yang sekarang lagi ramai diperbincangkan, calon wakil gubernur jatim bernama Saifullah Yusuf atau lebih akrab dipanggil Gus Ipul. Pergumulan di SMAN 1 Pandaan aku mulai sedikit mengerti tentang pentingnya arti sebuah kehidupan dan persahabatan. Berselingkuh dengan dunia jalanan sudah menjadi luapan ekspresiku dalam memaknai masa-masa SMA.


Pendidikan S1 :

1. Jurusan Perbandingan Agama Fak. Ushuluddin IAIN Surabaya Tahun 2000 (gak krasan)

2. Fakultas Hukum UNISMA Tahun 2001-2007


Pengalaman Organisasi di PMII :

  1. Wakil Ketua Rayon Al Hikam Fakultas Hukum Tahun 2002-2003

  2. Ketua Rayon Al Hikam Fakultas Hukum Tahun 2003-2004

  3. Sekretaris SAINS Komisariat UNISMA Tahun 2004-2005

  4. Direktur BPHA rezimnya Ali

  5. Koordinator Biro Pengelolaan Opini Publik Rezimnya Zaini

  6. Sudah saatnya buat Rezim sendiri


Pengalaman Organisasi Di Luar PMII:

  1. Sekretaris MPM UNISMA tahun 2003-2004

  2. Gubernur Mahasiswa Fakultas Hukum UNISMA tahun 2004-2005

  3. Sekretaris FORKOM BEM FH JATIM 2005-2006

  4. Div. Advokasi Kelompok Kajian & Pengembangan Masyarakat tahun 2005-sekarang

  5. Div. Advokasi Aliansi Petani Indonesia Regio JATIM 2007-Sekarang

  6. Div. Advokasi Konsorsium Pembaharuan Agraria Regio Jatim 2007-sekarang

  7. Milanisti Football Club sejak lahir hingga sekarang


Macak serius nich……………….


Three Locus Pergerakan: Membangkitkan Tradisi Dalam Kepungan Neoliberalisme.

Three Locus Pergerakan yang menjadi konseptual di rezimnya ini berawal dari melihat pertumbuhan dan perkembangan Nahdhatul Ulama yang notabenenya orang tua kultural kita. NU tumbuh dan berkembang besar hingga saat ini menurut analisis saya karena NU mempunyai Madrasah (lembaga Pendidikan), Masjid dan Masyarakat. Selain itu Three Locus Pergerakan ini adalah perwujudan dari motto PMII yaitu DZIKIR, FIKIR & AMAL SHOLEH.

Madrasah atau lembaga pendidikan adalah bagian penting dalam proses kaderisasi PMII, dalam hal ini bukan hanya di wilayah kampus saja yang menjadi sorotan, akan tetapi ruang yang lebih dini juga harus mendapatkan porsi yang cukup besar untuk dijadikan lahan ekspansi PMII. Ruang-ruang sekolah harus menjadi ladang garapan untuk melakukan kaderisasi kepada siswa-siswa sebelum mereka memasuki dunia kampus. Dorongan untuk mengkampanyekan di dunia sekolah adalah sebuah keharusan. Dengan berbagai potensi yang dimiliki oleh kader PMII, tentunya hal ini menjadi sebuah jalan baru untuk keberlanjutan masa depan PMII. Nalar siswa yang selama ini hanya menjadi robot-robot pendidikan yang dikendalikan oleh nalar berfikir praktis menjadi pekerjaan besar bagi PMII untuk melakukan perubahan kontruksi pemikiran bagi siswa, yaitu kontruksi nalar yang mengedepankan sikap kritis dan lebih mementingkan proses yang harus dilalui daripada hanya mementingkan tujuan apa yang harus dicapai.


Masjid adalah ruang publik yang memungkinkan bagi umat islam dari berbagai golongan ataupun aliran untuk datang ke rumah Allah. Ternyata tidak hanya motivasi ibadah saja mereka berada di Rumah Allah, tetapi juga tujuan-tujuan politik. Gerakan islam transnasional yang ‘merampas’ masjid-masjid yang berasaldari NU tentunya menjadi pekerjaan yang besar bagi PMII untuk ‘merebut’ kembali masjid-masjid tersebut. Gerakan islam transnasional adalah gerakan politik internasional yang menggunakan label islam, pusatnya ada di luar negeri seperti timur tengah ataupun mesir, sedangkan di Indonesia adalah agennya. Kita harus mewaspadai gerakan ini karena gerakan ini telah meminggirkan tradisi-tradisi kita dengan mengganti budaya ‘islam impor’.


Masyarakat adalah bagian yang tidak terpisahdari PMII sebagai organisasi gerakan. Tujuan PMII didirikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan-pendidikan kritis transformatif, bukan hanya menjadi organisasi pengkaderan an sich. PMII harus berperan aktif dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi di tanah air ini. Dengan terus bertambahnya kader, maka selama itulah PMII harus berproduksi dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa, tentunya pergeseran-pergeseran paradigma PMII akan disesuaikan dengan kemajuan zaman. Ketahanan budaya lokal bisa bertahan karena peranan PMII, maka akan sangat kehilangan nilai historisnya apabila PMII hanya menjadi menara gading dan terasing dari kehidupan masyarakat. PMII mengsiyaratkan sebagai organisasi gerakan yang selalu kritis di tengah-tengah masyarakat untuk meneriakkan keadilan dan demokratisasi.


Hari ini kita hidup di tengah-tengah mesin perubahan dunia yang serba cepat yang ditandai dengan tingginya mobilitas sosial yang diproduksi oleh kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata (invisible hand): sebuah kekuatan yang berada di balik fakta yang tampak; kekuatan yang mampu menggerakkan sebagian aktifitas manusia, kekuatan yang mampu menghegemoni sebagian besar pengetahuan yang tersebar di seluruh penjuru dunia, kekuatan yang selalu menunjukkan wajah angkernya karena tak mengenal belas kasihan bagiyang tidak searah dengannya, sebuah kekuatan maha dasyat yang mampu bermilyaran manusia untuk rela mebelanjakan apa yang dimilikinya tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang digiring menuju ruang pembantaian yang tiada akhir. Begitu menyeramkan kondisi sosial hari ini, terlalu banyak patologi sosial yang berkembang, begitu banyak parasit-parasit sosial yang menggerogoti sistem sosial, sehingga induk semangnya berada dalam kondisi sekarat, sebuah kondisi di mana peran-peran penyusun sistem sosial berada dalam posisi tidak seimbang. Gejala sosial yang timbul adalah pindahnya magnet kolektifisme sebagai suatu yang sudah menyejarah: terutama hadir dalam budaya masyarakat primitif dan agraris-feodalistik, menuju kutub magnet individualisme, kutub yang menggejala di awal-awal abad 18 sebagai dampak tumbuhnya industrialisasi, sebagai tangan kapitalisme. Sebagai organisasi kader yang memiliki segmen keanggotaan dari kelas elite status sosial, PMII dituntut tidak hanya berkutat pada persoalan teoritis an sich, tetapi juga harus turun pada ranah-ranah praksis, fakta yang memerlukan agent of change. Gerakan mahasiswa pada era rezim Soeharto hingga saat ini, tidak sedikit pula yang memberikan label gerakan liberal mulai mengembang dam menjamur pada kalangan bawah (masyarakat biasa) dan menebarkan wahyu pemberontakan.


Merumuskan Isu Strategis Dan Menentukan Positioning

Apa yang harus dirumuskan ? Dan bagaimana positioning PMII ? masalah ini harus dilihat secara keseluruhan, tidak bisa dilihat secaraparsial. Akankah PMII hanya terpaku sebagai organisasi pengkaderan saja ? untuk melihat hal ini, ada bebrapa hal yang bisa kita cermati bersama:

Pertama, secara politik, PMII yang secara kultur adalah ‘anak kandung’ dari NU samapai kapnpun akan dilirik oleh kekuatan politik manapun, kekuatan massa arus bawah yang besar dan pengaruhnya yang besar akan memikat semua kekuatan politik di Jawa Timur, tatapi masalahnya apakah hanya menjadi obyek kekuatan politik semata yang hanya akan dipakai menjelang momentum pemilu atau PILKADA dan setelah itu ditinggal lagi. Yang harus dilakukan oleh PMII adalah menjadi kekuatan politik kerakyatan dan kenegaraan. Kekuatan politik kerakyatan adalah menginisiasi dan memperkuat kekuatan politik rakyat agar lebih cerdas dan kritis dalam melihat penyelewengan berbagai kebijakan yang ada di sekelilingya. Politik kenegaraan diartikan bahwa PMII harus mampu merespon persoalan-persoalan bangsa yang sedang bermunculan.

Kedua, Sosial Budaya, dalam ruang ini diharapkan tidak ada dikotomi antara tradisional, konservatif, modernis dan sekuler. Yang membedakan PMII denga organisasi lainnya adalah PMII lahir, tumbuh dan berkembang dari kepentingan masyarakat. Adanya satu kesatuan masyarakat dengan mahasiswa menyiratkan betapa PMII harus mengembangkan hubungan yang saling menguatkan. Maka dalam konteks sosila budaya inilah, PMII menjadi perekat komunikasi sosial, menjadi ujung tombak dalam mengekspresikan berbagai kekuatan lokal sehingga akan terus eksis dan diakui keberadaannya. Ketika pintu negara semakin terbuka dan terhegemoni oleh kekuatan luar, maka PMII menjadi pintu seleksi bagi transaksi antar kebudayaan dan peradaban. Oleh karena itu, kader-kader PMII harus mampu menjadi lokomotif penggerak sejarah yang membawa gerbong-gerbong perubahan bukan menjadi duduk ongkang-ongkang yang akhirnya hanya menjadi rongsokan-rongsokan sejarah.


PADEPOKAN BETEK 164

8 Mei 2008