Senin, 02 Juni 2008

Ahmadiyah di Indonesia

DISKRIMINASI AHMADIYAH DI INDONESIA*

Oleh: Levi Riyansah**


Sebenarnya, ajaran di Ahmadiyah dibandingkan dengan ajaran islam tidak ada perbedaan yang mendasar. Dalam hal ubudiyah, syariah, dan sumber ajaran agama tidak ada perbedaan hanya saja ada perbedaan yang sebenarnya masih bisa dimaklumi, tapi perbedaan yang sangat krusiil itu ada pada wilayah kenabian. Selain di wilayah kenabian, juga ada perbedaan dalam menafsirkan Khilafah, mendefinisikan Almasih di akhir zaman, perbedaan pemaknaan hari akhir, dan konsep Jihad.

Dalam masalah kenabian, kita mengenal dua aliran besar di Ahmadiyah yang kemudian dalam pemaknaan itu yang memunculkan kontroversi tentang keberadaan nabi. Yang dipermasalahkan umat islam yang lainnya adalah kebeiradaan pendiri ajaran Ahmadiyah yaitu Mirza Ghulaim Ahmad yang diposisikan oleh kalangan Ahmadiyah sebagai nabi. Ini kalau tidak dipahami secara utuh bagaimana pendefinisian Mirza Ghulaim Ahmad sebagai nabi bagi kalangan Ahmadiyah ini yang kemudian menimbulkan aksi yang sangat keras dari umat islam di luar Ahmadiyah. Aksi yang keras ini mengarahkan pengkafiran pada Ahmadiyah karena landasan dasar islam itu adalah di taukhid, dan taukhid itu terletak pada syahadat yaitu penyaksian Allah sebagai tuhan dan Muhammad sebagai Rasulullah.

Ketika ada kelompok islam yang memunculkan nabi besar baru sebagai pengganti Muhammad jelas akan dianggap kafir. Sebenarnya, kalau kita tidak bisa membaca atau tidak bisa melakukan dialog dengan Ahmadiyah atau membaca literatur tenang Ahmadiyah itu akan menimbulkan salah persepsi, karena mereka memiliki definisi yang kaya tentang nabi. Tafsirnya mereka tentang nabi itu tidak seperti tafsir yang umum tidak seperti tafsir kaum muslimin yang Sunni ataupun Syi’ah, sangat berbeda sekali, di sinilah titik krusialnya sebenarnya.

Ahmadiyah yang kita kenal ada dua aliran yaitu Qadian dan Lahore, Lahore mendefinisikan nabi ada dua yaitu nabi yang Hakiki dan Lughowi. Nabi dalam konteks hakiki adalah nabi yang kita kenal dalam sejarah islam yang terakhir adalah nabi Muhammad. Sedangkan nabi dalam konteks Lughowi adalah nabi yang ada dalam satu ayat Al-Qur’an mengatakan bahwa dalam seratus tahun akan selalu muncul tokoh bisa dianggap nabi, ayat inilah yang dijadikan sebagai rujukan bahwa nabi itu terus berlanjut. Muhammad menjadi Khatamul anbiya’ wal mursaliin yaitu penutup nabi dan rasul dalam konteks agama hakiki atau nabi Hakiki tapi tidak sebagai nabi Lughowi. Kalau kita bisa memahami ini maka tidak ada yang bermasalah dalam tauhid mereka, sama saja sebenarnya.

Lebih jelas lagi kalau kita melihat pandangan Ahmadiyah Qadian, mereka lebih spesifik mendefinisikan nabi dalam tiga kategori. Kategori yang terakhir yang dinisbatkan kepada Mirza Ghulaim Ahmad adalah nabi yang tidak menyebarkan agama baru tapi dia memperkuat agama sebelumnya, memperkuat Muhammad, artinya seperti ulama saja sebenarnya atau tokoh ulama yang memiliki kelebihan yang dilebihkan oleh Tuhan sehingga dia diposisikan sebagai penerus perjuangan nabi dengan segala keilmuan dan kewenangannya untuk melakukan perubahan atau pembaruan terhadap islam. Dalam konteks ini pun sebenarnya tidak ada masalah.

Yang menjadi masalah ketika memang pertama adalah, kurang mendalam tentang pemahaman Ahmadiyah, yang kedua tentang tradisi keberagamaan kita yang tidak toleran dengan perbedaan penafsiran yang kaya jadi perbedaan tafsir itu tidak menjadi tradisi yang dikayakan. Dalam sejarah islam kita juga mengenal, dalam kekhilafahan yang diadopsi adalah ulama-ulama Mu’tazilah maka ulama-ulama Sunni dihancurkan, mereka menjadi musuh kekuasaan, demikian juga sebaliknya ketika Sunni dekat dengan kekuasaan maka kelompok yang berbeda dengan Sunni akan dimusuhi. Nah, konteksnya selain masalah ketidakfahaman ajaran yang berbeda dan ketidakterbukaan untuk mendialogkan perbedaan, juga masalah politik.

Aliran Ahmadiyah yang paling dianggap kafir adalah Lahore yang memposisikan Mirza Ghulaim Ahmad sebagai nabi dalam definisi yang hampir mirip dengan nabi yang sebenarnya, meski pemaknaan mereka adalah nabi Lughowi yaitu nabi yang tidak membawa syari’at baru. Sedangkan yang banyak di Indonesia ini kan yang Qadian, yang mendefinisikan nabi tidak seperti Lahore itu, melainkan nabi sebagai tokoh pembaruan islam yang tidak membuat syari’at baru hanya melanjutkan syari’at sebelumnya. Sebenarnya untuk esensi mereka tidak perlu menggunakan istilah nabi, cukup wali atau ualama. Jadi bagi Qadian, Mirza Ghulaim Ahmad itu sebagai wali saja tapi karena diksi yang digunakan menjadi demikian bermasalah maka memancing permasalahan yang lain.

Dalam sejarahnya, keberbedaan tafsir di Indonesia memang selalu memunculkan gesekan, kecurigaan, sehingga memunculkan sedikit masalah di Indonesia. Dalam sejarahnya, antar agama saja sering ada konflik artinya konflik antara umat Islam dengan Kristen itu sudah berlangsung sejak lama, tidak karena pasca reformasi karena pandangan Islam dan Kristen ada kaitannya dengan kolonial. Belanda sebagai bangsa Eropa datang memiliki tujuan Gold Glory Gospel, perlawanan-perlawanan islam waktu itu adalah perlawanan terhadap kafir. Imbasnya adalah ketika misionaris Kristen di Indonesia kemudian mendapat hak-hak khusus dari pemerintah Hindia Belanda sehingga mereka dianggap ancaman bagi kaum muslimin. Ketika sudah merdeka, pertemuan Islam-Kristen ini masih berpotensi menimbulkan konflik ketika tidak dihadirkan regulasi yang baik dari negara, makanya kemudian muncul forum antar umat beragama dan sebagainya.

Dalam konteks aliran sesat atau dalam konteks aliran kepercayaan di Indnesia, negara membuat lembaga yang namanya PAKEM (Pengawas Aliran kepercayaan Masyarakat) yang ini ditangani oleh Kejaksaan Agung dengan tujuan untuk mengawasi dan mendata aliran-aliran apa saja di Indonesia yang tergolong sesat. Pada tahun 1980-an Ahmadiyah ini sebenarnya sudah masuk dalam daftar aliran sesat, aliran yang dilawan di Indonesia. Hanya saja pada waktu itu PAKEM adalah tim Kejaksaan yang dalam mendifinisikan aliran sesat merujuk pada MUI. MUI ini kemudian menjadi sumber legitimasi terhadap aliran apa saja yang sesat, yang waktu itu adalah Ahmadiyah dianggap sesat oleh Kejaksaan. MUI pada era 1980-an memang sedang tidak harmonis dengan negara, dengan pemerintah tidak sedekat sekarang.

Ternyata keputusan Kejaksaan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang dilarang di Indonesia itu tidak sama dengan sikap Departemen Agama waktu itu. Departemen Agama tidak menganggap Ahmadiyah sesat, Depag hanya melakukan pendekatan terhadap Ahmadiyah agar Ahmadiyah menyebarkan ajarannya secara terbatas tidak misionaris minded. Belakangan, karena ada dua perbedaan sikap terhadap Ahmadiyah di dua instansi negara Kejaksaan dengan Departemen Agama, maka PAKEM kemudian lintas sektoral. PAKEM tidak hanya di Kejaksaan tapi harus bergabung di Depag, Diknas, Pengadilan, Kepolisian, dan lembaga-lembaga lain.

Dalam konteks tata negara hari ini, sebenarnya tidak perlu ada SKB (Surat Keputusan Bersama) yang menempatkan Ahmadiyah sebagai seta berdasarkan tiga Deparemen itu tidak perlu, karena keberadaan PAKEM ini sudah lintas sektoral. Keberadaan PAKEM sebenarnya sudah ada embrionya sejak Orde Lama tepatnya tahun 1951 namun, keberadaannya ditetapkan pada tahun 1965 yang memberikan tugas dan kewenangan kepada Kejaksaan Agung, salah satu kewenangan itu adalah pengawasan terhadap aliran kepercayaan di masyarakat. Mengenai hal ini kajian historisnya akan panjang karena berkeitan dengan kebutuhan negara untuk mendisiplinkan gerakan-gerakan di masyarakat. Aliran sesat cenderung ketundukannya hanya pada pimpinan alirannya, hal ini rentan adanya perlawanan-perlawanan terhadap negara. seperti kasusnya Syaikh Siti Jenar, bagaimana pegikutnya tidak tunduk kepada Demak tapi lebih tunduk kepada Syaikh Siti Jenar. Konteksnya lebih mirip dengan ini, sehingga pengikut aliran sesat tidak tunduk dengan kebijakan negara.

Untuk mendefinisikan sesat, negara harus melibatkan lembaga-lembaga keagamaan yang dibentuk oleh negara, karena definisi sesat itu sebenarnya absurd artinya bermasalah dalam konteks pemkanaannya. Sesat menurut siapa? Itu pertanyaan yang harus dijawab sebenarnya sekaligus pertanyaan yang tidak penting untuk dijawab oleh negara karena mereka hanya butuh tindakan yang mengarah pada pembenaran tindakan negara.

Bangkitnya kembali fundamentalisme agama pasca reformasi itu juga menambah permasalahan agama yang semakin kompleks. Tidak hanya persolan eksistensi agama yang merebut kekuasaan agama di lingkaran negara tapi juga problem-problem lain yang berhubungan dengan peta global ketika hari ini banyak sekali gerakan-gerakan impor dari Timur Tengah itu yang sebenarnya di sanalah perlawanan terhadap kekuatan Barat. Tapi karena perlawanannya ada di Indonesia, gerakan perlawanan ini menjadi sangat ngawur, mereka melawan terhdap perbedaan, bid’ah, dan lain sebagainya. Dan saya tidak menemukan adanya kepentingan pragmatis politis dari gerakan fundamentalisme Islam seperti Hizbut Tahrir maupun Salafi untuk merebut kekuasaan negara, mereka hanya anti terhadap aliran sesat, anti bid’ah, didasari oleh daerah lahirnya, dalam hal ini konteks Afghanistan, kemudian Jamaah Islamiah itu merupakan kepanjangan tangan dari Ideologi Taliban. Ideologi Taliban memang sangat keras, tapi ketika berada di Indonesia menjadi tidak kontekstual sehingga mereka melakukan gerakan dengan semena-mena terhadap aliran yang dianggap sesat.

Kalau ini dianggap berkaitan dengan perebutan akses kekuasaan mungkin iya tapi tidak hanya itu. Ahmadiyah ini tidak menjadi ancaman terhadap dominasi Departemen Agama, kalau dalam pengamatan saya, Ahmadiyah selama ini tidak memiliki orientasi terhadap penguasaan Departemen Agama ataupun menjadi Ormas yang besar dan menguasai Indonesia. Menurut saya, Ahmadiyah hanya ingin mengembangkan jama’ah dan ingin menyebarkan ajaran yang mereka yakini sebagai kebenaran. Memang tradisi keberagamaan di negara kita meskipun sudah sangat lama tapi harus diakui belum dewasa dalam menyikapi perbedaan.

Namun, ada permasalahan yang memicu reaksi keras terhadap Ahmadiyah itu ada dari pihak Ahmadiyah sendiri yang dianggap ekskhlusif terhadap masayakat di lingkungan tempat tinggalnya. Seperti Syi’ah di Bangil, demikian juga Syafa’atus Shalawat di Jabung, Wisman Roy malah tidak hanya eksklusif tapi juga provokatif, aliran-aliran ini eksklusif dalam hal bermasyarakat sebagai ekspresi keberagamaannya. Seyogyanya, keberagamaan itu jangan provokatif lah, keberbedaan beragama itu pasti ada tapi ketika keberbedaan itu kemudian diungkit-ungkit dalam hal aspek-aspek yang sensitifnya pasti akan marah. Ketika minoritas agama ini tidak provokatif, mereka bisa membangun komunikasi yang baik, tentunya minoritas-minoritas tidak akan menerima kemarahan yang sebesar itu. Meskipun ini bukan satu-satunya problem, tetap ada problem di wilayah makro, di wilayah kekuasaan, di wilayah dominasi tokoh-tokoh agama, dan sebagainya.

Khususnya Ahmadiyah yang memicu kemarahan adalah sikap eksklusifnya itu, mereka tidak provokatif. Tapi selain eksklusif, juga karena factor kesejarahan yang cukup panjang. Wacana Ahmadiyah menjadi wacana yang sejak lama lebih-lebih ajaran yang dipermasalahkan yaitu masalah yang sangat sensitif yatu kenabian. Makanya itu tidak hanya menjadi masalah sosial tapi juga masalah political will dari pemerintah, dan political will dari tokoh-tokoh agama. Seperti contohnya Jalaluddin Rahmat, di jelas-jelas Syi’ah tapi dia tidak menampilkan diri sebagai sosok yang kontroversi, dalam menyebarkan pemikirannya dia lebih menyentuh pada aspek-aspek Tasawwuf.

Kecenderungan keberagamaan adalah Patronase, sehingga perlu kesadaran tokoh-tokoh agama untuk memberikan pendidikan penyadaran menerima keberagaman beragama. Saya yakin kalau tidak ada sau pun tokoh agama yang mendukung terhadap pelarangan ajaran Ahmadiyah, tentu tidak ada reaksi keras dari masyarakat terhadap Ahmadiyah, tapi beberapa tokoh agama masih menganggap Ahmadiyah harus ditutup. Dalam penyelesaian pertentangan yang paling baik adalah menjalin komunikasi, dan berdialog tentang ajaran aliran agama tertentu.


* Hasil wawancara penyusun dengan Levi Ryansah.

** Direktur Pusat Pengembangan Kajian dan Budaya (Puspek) Averroes Community Malang.

Tidak ada komentar: